Pendidikan Disiplin Militer: Solusi Instan atau Problem Baru?

Foto Dr A Umar MA
×

Pendidikan Disiplin Militer: Solusi Instan atau Problem Baru?

Bagikan opini

Pendidikan karakter sejati membutuhkan konsistensi antara apa yang diajarkan di kelas, apa yang dicontohkan di rumah dan apa yang ditampilkan oleh pemimpin serta sistem sosial. Tanpa itu, pelatihan disiplin berbasis ketakutan hanya akan mencetak generasi yang patuh di depan instruktur, namun cenderung licik dan oportunis saat berada di luar pantauan.

BELAKANGAN INI, dunia pendidikan Indonesia kembali diramaikan dengan wacana program “sekolah ala militer” untuk membenahi karakter pelajar.

Di Jawa Barat, misalnya, pemerintah daerah mengalokasikan dana hingga Rp6 miliar untuk mengirim para siswa bermasalah—dari kasus tawuran, geng motor, hingga kecanduan game—ke barak militer selama dua pekan (Republika, Mei 2025).

Kebijakan ini disebut-sebut sebagai solusi cepat untuk memulihkan krisis moral generasi muda yang dianggap makin mengkhawatirkan.

Di sisi lain, data nasional memang menunjukkan situasi yang tidak menggembirakan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat peningkatan signifikan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, dari 285 kasus pada 2023 menjadi 573 kasus pada 2024, menunjukkan lonjakan lebih dari 100%. Ada 573 Kasus Kekerasan di Sekolah Sepanjang Tahun 2024 (baca: Kompas.com – Desember 2024).

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa dari Januari hingga Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak, dengan 861 kasus terjadi di satuan pendidikan. (baca: Kompas.com- Oktober 2023).

Data tersebut seakan menguatkan alasan lahirnya kebijakan disiplin berbasis pelatihan militer. Namun, di sinilah letak persoalan yang lebih dalam.

Pertanyaan pentingnya: benarkah “disiplin ala militer” dapat menjadi solusi efektif bagi kompleksitas persoalan karakter pelajar? Ataukah justru pendekatan semacam ini akan menimbulkan problem baru, terutama dalam konteks kesehatan mental, hak anak, dan iklim pendidikan yang seharusnya memanusiakan?

Lickona (2013) dalam karyanya Educating for Character menegaskan, bahwa pendidikan karakter sejati tidak cukup dibangun melalui metode koersif, tetapi membutuhkan keteladanan, partisipasi aktif, dan dialog moral yang melibatkan siswa sebagai subjek, bukan objek pendidikan.

Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menempatkan anak sebagai subjek, bukan sekadar objek kebijakan.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini