Lebih tegas lagi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui Pedoman Kemitraan Pengawasan Perlindungan Anak menegaskan bahwa segala bentuk program pembinaan dan pendidikan anak, (termasuk metode disiplin militer), wajib berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak dan bebas dari praktik kekerasan fisik maupun psikis.
Pedoman tersebut juga mewajibkan pelibatan aktif anak dalam proses pembinaan serta pengawasan partisipatif dari keluarga, sekolah, dan komunitas.
Pada titik inilah, kita dituntut untuk merenungkan kembali arah kebijakan pendidikan karakter yang tengah kita jalankan.
Benarkah problem moral generasi muda semata-mata lahir dari kelonggaran disiplin?
Ataukah sesungguhnya berpangkal pada sistem pendidikan yang abai terhadap fitrah kemanusiaan, mengabaikan dialog batin, dan minim ruang untuk tumbuhnya nilai-nilai kasih sayang, kebijaksanaan, serta penghargaan terhadap martabat anak sebagai amanah Allah?
Program pelatihan disiplin bernuansa militer boleh jadi menyajikan hasil instan yang teratur di permukaan.
Namun, sejarah dan nilai-nilai profetik mengajarkan bahwa pembentukan karakter sejati bertumpu pada keteladanan yang konsisten, pendidikan hati yang lembut, dialog yang jujur, serta lingkungan yang memungkinkan manusia berkembang secara utuh — lahir dan batin.Sebagaimana pesan luhur dalam ajaran agama: la ikraha fid-din (tidak ada paksaan dalam agama), pendidikan pun mestinya berjalan dalam bingkai penghargaan terhadap kebebasan nurani, keseimbangan akal dan rasa, serta kelembutan yang menuntun, bukan kekerasan yang memaksa.
Belajar dari Kita, Bukan Buku
Ketika anak-anak menampilkan perilaku menyimpang, agresif, atau mengalami kecemasan sosial, respons masyarakat sering kali bersifat instan dan simplistis: Lembaga pendidikan formal segera dituding gagal menanamkan budi pekerti, sementara kurikulum dianggap terlalu berat di aspek kognitif dan abai terhadap pendidikan moral.