Padahal, pendidikan karakter sejatinya bukanlah produk eksklusif ruang kelas, melainkan hasil dari proses panjang dalam ekosistem sosial yang melibatkan banyak pihak.
Anak-anak lebih banyak belajar dari lingkungan di mana mereka tumbuh dan berinteraksi — mulai dari orang tua di rumah, guru di sekolah/ madrasah, tokoh masyarakat, aparat negara, hingga realitas sosial yang mereka saksikan dan alami setiap hari.
Dalam perspektif pendidikan holistik, karakter tidak hanya dibentuk melalui instruksi verbal atau aturan disiplin, tetapi melalui keteladanan, relasi sosial yang sehat, dan nilai-nilai yang hidup di ruang publik.
Karena itu, kegagalan pendidikan karakter adalah kegagalan kolektif, bukan semata-mata tanggung jawab institusi pendidikan
Dalam konteks pendidikan karakter, Umar.A, (2012: 5-6) dalam bukunya Kesehatan Mental Islami di Lingkungan Sekolah, menegaskan bahwa suasana lingkungan sekolah yang sehat, harmonis, dan kondusif merupakan faktor penting dalam membentuk kesehatan mental peserta didik.
Pendidikan karakter tidak hanya dibangun melalui transfer nilai di ruang kelas, tetapi juga melalui suasana sosial yang penuh keteladanan, relasi yang manusiawi, serta kerja sama yang solid antara guru, siswa, kepala sekolah, dan orang tua.Anak-anak membutuhkan lingkungan yang memberi ketenangan batin, rasa aman, dan penghargaan terhadap keberadaannya agar dapat tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter dan sehat secara mental.
Zakiah Daradjat (1988) menambahkan, pendidikan karakter yang efektif menuntut keterlibatan seluruh pihak, sebab problem moral anak bukan hanya persoalan disiplin semata, melainkan cerminan dari kondisi spiritual, sosial, dan psikologis yang saling terkait.
Namun, meskipun nilai-nilai karakter diajarkan di sekolah, kenyataan di luar sekolah sering kali memberikan tantangan yang kontradiktif, seperti yang digambarkan oleh Zakiah Daradjat.
Sekolah boleh saja mengajarkan kejujuran di ruang kelas, tetapi di luar pagar sekolah, anak-anak menyaksikan realitas yang kerap kontradiktif. Mereka melihat bagaimana hukum bisa dipermainkan, kekuasaan digunakan secara sewenang-wenang, dan ketimpangan sosial dipelihara tanpa rasa malu.