Pendidikan Disiplin Militer: Solusi Instan atau Problem Baru?

Foto Dr A Umar MA
×

Pendidikan Disiplin Militer: Solusi Instan atau Problem Baru?

Bagikan opini

Mereka menyaksikan teman-temannya hidup dalam kemewahan yang tak sejalan dengan logika penghasilan orang tuanya, dan melihat bagaimana praktik manipulasi politik atau kebijakan publik kerap abai terhadap kepentingan rakyat banyak.

Semua itu menjadi pelajaran sosial yang jauh lebih membekas ketimbang sekadar ceramah moral atau pelatihan baris-berbaris.

Di sinilah kita perlu jujur bahwa pendidikan karakter anak tidak bisa dilepaskan dari ekosistem sosial-budaya yang membentuknya. Jika nilai-nilai di masyarakat keropos, maka nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah pun akan cepat pudar.

Pendidikan karakter sejati membutuhkan konsistensi antara apa yang diajarkan di kelas, apa yang dicontohkan di rumah, dan apa yang ditampilkan oleh pemimpin serta sistem sosial. Tanpa itu, pelatihan disiplin berbasis ketakutan hanya akan mencetak generasi yang patuh di depan instruktur, namun cenderung licik dan oportunis saat berada di luar pantauan.

Karena itu, jika ingin membenahi karakter generasi muda, kita perlu mulai dari membenahi cara kita hidup sebagai orang dewasa di hadapan mereka. Anak-anak tidak hanya mendengarkan apa yang kita ajarkan — mereka melihat bagaimana kita menjalani hidup, dan dari situlah mereka belajar tentang apa yang boleh dan tidak boleh.

Paradoks Pendidikan Karakter di Indonesia

Pendidikan karakter idealnya dibangun melalui konsistensi nilai yang diterapkan dalam lingkungan sosial, institusi pendidikan, dan praktik keseharian.

Durkheim dalam bukunya yang terkenal "Education and Sociology” menyebutkan, pendidikan bukan sekadar aktivitas individual, tetapi institusi sosial yang berjalan dalam sistem nilai yang berlaku di masyarakat.

Maka, ketika nilai-nilai sosial mengalami degradasi atau penuh kontradiksi, pendidikan karakter di sekolah pun rawan kehilangan makna substantif.

Kenyataannya, praktik pendidikan kita saat ini masih berkutat dalam dua kutub ekstrem. Di satu sisi, pendekatan otoriter yang menekankan kepatuhan melalui hukuman dan aturan ketat masih banyak dipraktikkan.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini