Anak-anak tidak pernah lahir sebagai pribadi yang bengkok. Mereka datang ke dunia sebagai kertas putih, yang kemudian diwarnai oleh lingkungan sosial tempat mereka tumbuh.
Jika hari ini kita menyaksikan generasi yang mudah marah, permisif terhadap keburukan, atau abai terhadap nilai-nilai moral, sesungguhnya mereka sedang memantulkan wajah kita sendiri sebagai masyarakat. Karakter anak-anak adalah produk budaya sosial yang kita ciptakan, disengaja atau tidak.
Seringkali, tanpa sadar, kita mempertontonkan paradoks yang membingungkan generasi muda. Di ruang-ruang kelas, kita ajarkan pentingnya kejujuran, tetapi di ruang kebijakan kita manipulasi kebenaran.
Kita lantangkan seruan moralitas dari podium-podium seremonial, sementara di lapangan kita biarkan ketidakadilan berjalan tanpa perlawanan.
Kita perintahkan anak-anak bersikap disiplin, sedangkan kita sendiri melanggar aturan yang kita buat. Kita minta mereka santun, sementara kita dengan mudahnya mencaci di ruang publik.
Sudah terlalu lama kita menuntut anak-anak menjadi baik, tanpa terlebih dahulu memperbaiki diri kita sebagai orang dewasa, sebagai orang tua, sebagai pendidik, sebagai pemimpin, dan sebagai masyarakat.Sejatinya, pendidikan karakter bukanlah proyek sekolah semata, melainkan cermin dari moral kolektif bangsa. Jika akhlak generasi muda kita rapuh, sesungguhnya itulah gambaran dari kondisi moral sosial yang kita bangun.
Di titik ini, refleksi tidak lagi sekadar menjadi pilihan, tetapi sebuah keniscayaan. Kita semua, tanpa kecuali, perlu bercermin: sejauh mana nilai-nilai yang kita serukan telah benar-benar menjadi laku hidup?
Sejauh mana keteladanan kita pantas untuk diwarisi oleh anak-anak kita? Karena pendidikan akhlak sejati tidak lahir dari teori atau slogan, tetapi tumbuh dari keteladanan, kejujuran, dan keberanian moral yang kita hadirkan setiap hari.
Dan barangkali, sebelum kita sibuk memperbaiki anak-anak, yang lebih mendesak adalah memperbaiki diri kita sendiri.