DI TENGAH laju pesat transformasi digital, ruang maya telah menjadi tempat berlangsungnya berbagai aktivitas sosial, ekonomi, bahkan politik.
Namun, seiring manfaatnya yang tak terbantahkan, ruang digital juga membuka pintu bagi hadirnya bentuk kekerasan baru yang sering kali luput dari perhatian.
Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) hadir dalam berbagai bentuk dan kian mengkhawatirkan, terutama karena dilakukan melalui platform digital yang seharusnya menjadi sarana pemberdayaan.
KGBO merupakan bentuk kekerasan yang dilatarbelakangi ketimpangan gender dan terjadi melalui media digital seperti media sosial, aplikasi pesan instan, atau forum daring.
Bentuknya sangat beragam, mulai dari komentar seksis, doxing, penyebaran foto atau video pribadi tanpa izin (revenge porn), penyebaran hoaks yang menyasar identitas gender, hingga pemalsuan konten dengan teknologi deepfake.
Studi oleh Elistya & Arsi (2024) dalam Solidarity Journal menyebut bahwa mayoritas korban kekerasan digital adalah perempuan muda, khususnya pengguna aktif media sosial seperti TikTok dan Instagram.Salah satu bentuk penyalahgunaan platform digital yang paling merusak adalah penyebaran konten intim tanpa persetujuan.
Konten semacam ini sering kali diunggah oleh mantan pasangan atau bahkan orang asing, dan disebarluaskan melalui grup chat, situs dewasa hingga media sosial mainstream.
Dalam banyak kasus, konten tersebut digunakan untuk mengancam, memeras atau mempermalukan korban.
Penelitian oleh Safela et al. (2023) di Jurnal Dimensi menyebutkan bahwa 73% korban merasa tidak aman menggunakan internet setelah mengalami kekerasan jenis ini.
Editor : Mangindo Kayo