Di sisi lain, peran platform digital sebagai mediator utama dalam penyebaran kekerasan ini belum optimal. Banyak media sosial masih memiliki sistem moderasi konten yang lambat atau tidak responsif terhadap laporan pelecehan dan ancaman.
Anonimitas pengguna, algoritma yang memprioritaskan konten sensasional, serta kurangnya kebijakan internal yang tegas terhadap kekerasan gender, memperparah situasi.
Beberapa platform bahkan tidak menyediakan saluran pelaporan yang ramah korban atau menolak bekerja sama dengan aparat dalam proses hukum.
Perempuan menjadi kelompok yang paling rentan. Selain sebagai korban utama, mereka juga kerap menjadi sasaran penilaian moral dari masyarakat.
Media online bahkan sering kali menampilkan narasi yang menyalahkan korban, seperti “mengapa mengunggah foto tersebut?” atau “mengapa membalas pesan dari orang asing?”
Fenomena ini mengakar dari budaya patriarki yang masih kuat di ruang publik dan digital.Ihsani (2021) dalam Jurnal Wanita & Keluarga menyoroti bahwa victim-blaming menjadi salah satu penghalang utama bagi perempuan untuk berani melapor dan menuntut keadilan.
Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Saat ini, gerakan advokasi berbasis komunitas dan pendekatan feminis mulai menunjukkan dampak.
Banyak organisasi masyarakat sipil seperti SAFEnet, LBH APIK dan Komnas Perempuan mendorong edukasi literasi digital, pendampingan hukum, serta reformasi kebijakan untuk menciptakan ruang digital yang aman dan adil.
Mereka juga mendesak platform digital untuk bertanggung jawab secara sosial, termasuk dengan melibatkan perempuan dalam tim moderasi konten dan desain fitur keamanan.
Editor : Mangindo Kayo