Jalur Padang–Bukittinggi adalah nadi distribusi barang dari pesisir barat ke kawasan dataran tinggi. Setiap kemacetan berarti biaya logistik yang membengkak.
Menurut perhitungan Dinas Perhubungan Sumbar, kemacetan di Padang Lua menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp15 miliar per tahun, terutama akibat pemborosan bahan bakar dan waktu angkut barang.
“Kalau bypass selesai, efisiensi bisa langsung terasa bagi sektor perdagangan dan pariwisata,” ujar seorang pejabat Balai Jalan.
Namun di sisi lain, penataan pasar memunculkan dilema klasik antara efisiensi dan aksesibilitas. Banyak pedagang kecil bergantung pada arus kendaraan yang padat, karena di sanalah mereka mendapat pembeli spontan.
Jika pasar direlokasi terlalu jauh dari jalan, omzet mereka bisa menurun. Karena itu, revitalisasi tidak bisa hanya dilihat dari sudut teknis, melainkan juga keseimbangan sosial-ekonomi.
Pasar sebagai Ruang HidupPadang Lua mencerminkan karakter budaya Minangkabau yang egaliter dan mandiri. Aktivitas ekonomi rakyat tumbuh dari bawah, tanpa banyak campur tangan negara.
Pasar menjadi arena sosial di mana identitas lokal, gotong royong, dan daya saing kecil menengah bertemu.
“Di sini, orang tidak hanya berdagang, tapi juga menjaga jaringan sosial,” ujar Wali Nagari Padang Lua.
Ia menegaskan bahwa penataan fisik tanpa pendekatan sosial akan gagal karena mengabaikan makna kultural pasar bagi masyarakat.